Pulihkan 81 Hektare Hutan Mangrove agar Bisa Dinikmati Anak Cucu
Ombak Pantai Gatra menjadi backsound saat Lia berkisah tentang CMC Tiga Warna. Sudah 17 tahun dirinya bersama warga sekitar melakukan penghijauan di pesisir dengan menanam pohon mangrove.
Dia menyebut rusaknya mangrove berawal dari penebangan masal di tahun 1998. Sekitar 81 hektare kawasan mangrove rusak parah. Saat pergi ke pantai Clungup ia bersama sang ayah,Saptoyo, mendapati kondisi pantai yang gersang dan sangat panas.
”Tumbuhan jarang-jarang dan abrasi terlihat di mana-mana,” terang ibu satu anak ini.
Perempuan yang kini berusia 29 tahun ini lantas bertekad tidak ke pantai lain kecuali Clungup untuk mulai menanam mangrove di tahun 2005. ”Saat itu juga pas terjadi paceklik ikan.
Para nelayan juga mulai sadar hilangnya ikan salah satunya karena hilangnya mangrove,” tambahnya.
Penanaman yang terus dilakukan ternyata tidak serta merta membuat kawasan hutan bisa kembali. Perlu pengawasan dan perawatan yang baik setelah penanaman. Di tahun 2013 Pokmaswas yang sebelumnya sudah ada, lantas diaktifkan kembali di bawah komando Saptoyo. Sebanyak 78 orang bergabung untuk berupaya mengembalikan ekosistem di sana.
Setelah berjalannya waktu, warga yang tergabung dalam kelompok lebih berorientasi ekonomi dengan pemanfaatan wilayah pantai dan bukan untuk mengembalikan ekosistem alam dulu. Seleksi alam pun terjadi. Dari sebelumnya ada 78 anggota, hanya menyisakan 7 orang. Lia satu satunya perempuan.
Namun mereka tidak patah arang dan terus berkomitmen untuk melakukan ikhitiar konservasi. Ujian datang tahun 2015 saat dia dan ayahnya serta satu orang anggota harus dibawa ke kantor polisi karena dianggap melanggar Undang Undang. Caranya mengelola hutan di anggap tidak punya payung hukum dan ia harus mempertanggungjawabkan.
Dengan segenap upaya dan mengeluarkan biaya yang cukup banyak, akhirnya mereka bisa keluar dari sel. Mereka tetap kembali menanam dan mengenakan pita hitam di lengan. ”Hal itu ternyata mendapat respons positif masyarakat umum hingga ada yang membantu hingga ikut menanam mangrove,” tambah penerima penghargaan Pemuda Pelopor untuk kategori Sumber Daya Alam di tahun 2016.
Sejak saat itu, CMC terus berkembang dengan berbagai programnya. Termasuk melestarikan terumbu karang dengan program apartemen terumbu karang. Hingga saat ini 81 hektare kawasan mangrove sudah kembali pulih, tinggal merawat dan melestarikannya.
Lia yang termasuk dalam Women’s Earth Aliance saat ini menjadi salah satu pimpinan di Yayasan Bhakti Alam Sendang Biru yang mengelola CMC Tiga Warna dengan lebih dari 100 orang anggota . Sebanyak 80 persen di antara para anggota, dulunya adalah mantan perambah hutan. Mereka tampil menjadi pemandu wisata dan pelestari alam.
Untuk mengedukasi para pengunjung, mereka menerapkan cek list barang bawaan. Untuk memastikan pengunjung tidak meninggalkan sampah di tempat wisata. Saat keluar cek di lihat ulang, bila ada sampah yang tertinggal wisatawan harus mengambilnya lagi atau membayar denda. ”Ternyata hal ini malah mendapat apresiasi dari pengunjung, mereka merasa ikut menjaga alam,” ujar salah satu dari 72 Ikon Berprestasi Indonesia ini.
Pembatasan jumlah kunjungan dan jam berkunjung juga di berlakukan di kawasan Pantai Tiga Warna. Dalam waktu 2 jam, hanya boleh ada 100 pengunjung. Hal ini untuk membuat pengunjung nyaman dan juga ekosistem terjaga. Selain itu, pengunjung juga harus melakukan reservasi dulu.
Di high season seperti libur Nataru dan Hari Raya idul fitri kawasan CMC justru ditutup. Demi memberikan waktu untuk mereka yang bekerja juga menikmati masa hari raya baik Idul fitri maupun Natal. Kebijakan yang tidak biasa ini di ambil untuk membuat ekowisata ini sustainable. ”Harapannya agar alam yang lestari dapat dinikmati hingga anak cucu,” terangnya.
sumber: jawapos
Comments
Post a Comment