Pengambilalihan Lahan Hutan untuk KHDPK Belum Direlaisasikan, Ini Kata Pakar
Hutan Indonesia merupakan rumah bagi keanekaragaman hayati dan memainkan peran penting dalam mitigasi perubahan iklim dan ketahanan air.
Hutan juga menjadi tempat tinggal bagi banyak kelompok masyarakat adat dan komunitas lokal. Sektor kehutanan telah dipenuhi eksploitasi yang berlebihan, konflik sosial, dan korupsi. Tata kelola hutan tengah dalam kondisi kritis pada berbagai level.
Pendekatan lanskap yang lintas yurisdiksi dan menghargai hak asasi manusia (HAM) dapat membantu memastikan konektivitas ekologi dan keberlanjutan. Pengambilalihan lahan hutan seluas 1,1 juta hektar oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Pulau Jawa melalui SK Nomor 287 untuk Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) belum dapat direalisasikan.
Berikut diungkapkan oleh pakar kehutanan Haryadi Himawan, saat diwawancarai di Kota Bandung pada Rabu 15 Juni 2022 di sela-sela rapat bersama Forum Penyelamat Hutan Jawa.
Menurut Haryadi, mengapa hal tersebut belum bisa direalisasikan, ini dikarenakan kurangnya perangkat yang ada.
"Perangkat untuk menjalankan kebijakan tersebut dinilai masih belum siap," katanya.
Haryadi juga mengatakan, pelaksana akan kesulitan menjalankan program tersebut. Ini dikarenakan pelaksana tidak mendapatkan anggaran yang memadai tahun 2022.
Baca juga : 5 Fakta Unik Hutan Kalimantan
"Selain itu pada aturan tersebut tidak secara rinci menjabarkan terkait detail titik-titik lahan yang akan dimanfaatkan," kata Founder dari Lembaga Bersahabat Selamatkan Hutan Jawa tersebut.
"SK yang kemarin keluar nomor 287 itu SK yang tidak teknokrat karena ada luas tapi tidak dicantumkan detailnya dan ternyata dampak di lapangan ada yang berkelahi, rebutan dan tawar menawar luar biasa," katanya.
Tidak hanya itu, Haryadi juga menuturkan rencana kementerian yang akan mengatur lebih detail terkait SK nomor 287 tidak akan selesai hanya dalam 2 tahun. Kondisi tersebut berpacu dengan kerusakan hutan yang meluas.
Mantan Dewan Pengawas Independen Perhutani ini melanjutkan laju deforestasi hutan di Pulau Jawa selama 5 tahun terakhir mencapai luas 138 ribu hektare termasuk pada hutan tanaman di Perhutani pun terjadi.
Sedangkan deforestasi di hutan rakyat selama 5 tahun terakhir mencapai luas 400 ribu hektare.
"Jadi kalau ada anggapan mengatakan hutan rakyat lebih baik fakta menunjukan itu padahal KHDPK itu nanti dikelola oleh rakyat. Kalau tidak ada pendampingan kira-kira akan terjadi deforestasi atau tidaknya," katanya.
Baca juga : Polres Tapin Akan Tindak Tegas Oknum Pembakar Hutan dan Lahan
Ia menilai pengelolaan KHDPK berada di persimpangan jalan dan dapat membuat hutan rusak jika tidak terlebih dahulu dilakukan evaluasi. Oleh karena itu terlebih dahulu harus dilakukan evaluasi.
"Hutan Jawa harus ditata ulang iya tapi jangan lah menggunakan pola instan, menggunakan kata pokoknya aku yang menentukan dan tertutup pada partisipasi. Saya ingin izin pemanfaatan hutan perhutanan sosial dievaluasi dulu kan barang kelihatan," katanya.
Di wilayah Jawa Tengah, ia mencontohkan perhutanan sosial yang berdampak terhadap laju deforestasi namun begitu ditemukan pula yang berjalan. Namun yang berjalan adalah rintisan Perhutani.
"Saya ingin kita legowo evaluasi sampai 2022 setelah itu buat arsitektur hutan, Perhutani harus dibenahi," katanya.
Ketua Forum Penyelamat Hutan Jawa Eka Santosa mengaku akan mengumpulkan aktivitis lingkungan, seluruh LMDH se-Jawa Barat dan serikat pekerja Perhutani yang akan menyepakati rencana ke depan yang akan dilakukan.
Selain itu, konsep perhutanan sosial sebetulnya sudah berjalan.
Ia pun menegaskan bahwa pihaknya bukan alat Perhutani atau anti terhadap reforma agraria. Pihaknya mendorong reforma agraria di lahan-lahan di luar hutan.
Sementara itu Mantan Wakil Gubernur Jawa Barat periode tahun 2003-2008 Numan Abdul Hakim meminta pemerintah pusat untuk meninjau ulang atau mengevaluasi peraturan tentang Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK).
Baca juga : Menurunkan Emisi Melalui Konsesi Hutan Gambut
Sebab peraturan tersebut dianggap dapat membahayakan keberadaan hutan lindung di pulau Jawa.
"Itu ada regulasi yang memberikan kesempataan, kewenangan menteri membagikan kawasan itu kawasan hutan lindung itu berbahaya," ujarnya yang juga merupakan Dewan Penasehat Forum Penyelamat Hutan Jawa.
Lebih jauh ia menjelaskan teori populasi yang ke depan bisa menjadi disrupsi jika tidak menjaga keseimbangan salah satunya terkait hutan.
Oleh karena itu jika hutan digunakan untuk kepentingan non hutan maka dapat membahayakan.
Comments
Post a Comment